Implikasi Pemberlakuan RUU ITE
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Kronologis perjalanan UU ITE:
Perjalanan UU ITE memerlukan waktu yang lama (5 tahun). Hal ini menyebabkan UU ITE menjadi sangat lengkap karena RUU ITE telah melalui banyak pembahasan dari banyak pihak. Sehingga konsultan yang disewa oleh DEPKOMINFO pun menilai bahwa UU ITE ini terlalu ambisius karena Indonesia adalah negara satu-satunya di dunia yang hanya mempunyai satu Cyber Law untuk mengatur begitu luasnya cakupan masalah dunia Cyber, sementara negara lain minimal memiliki tiga Cyber Law. Namun Bapak Cahyana sebagai pemateri malah bersyukur dengan keadaan ini.
Beliau menjelaskan lebih lanjut kondisi nyata di lapangan, betapa berbelitnya proses pengesahan suatu RUU di DPR. Sehingga bagi Indonesia lebih baik memiliki satu Cyber law saja sehingga DEPKOMINFO lebih leluasa menindak lanjuti UU ITE dengan membuat Peraturan Pemerintah yang masing-masing mengatur hal-hal yang lebih detail.
Latar belakang Indonesia Memerlukan UU ITE
Latar belakang Indonesia memerlukan UU ITE karena:
1. Hampir semua Bank di Indonesia sudah menggunakan ICT. Rata-rata harian nasional transaksi RTGS, kliring dan Kartu Pembayaran di Indonesia yang semakin cepat perkembangannya setiap tahun
2. Sektor pariwisata cenderung menuju e-tourism ( 25% booking hotel sudah dilakukan secara online dan prosentasenya cenderung naik tiap tahun)
3. Trafik internet Indonesia paling besar mengakses Situs Negatif, sementara jumlah pengguna internet anak-anak semakin meningkat.
4. Proses perijinan ekspor produk indonesia harus mengikuti prosedur di negera tujuan yang lebih mengutamakan proses elektronik. Sehingga produk dari Indonesia sering terlambat sampai di tangan konsumen negara tujuan daripada kompetitor.
5. Ancaman perbuatan yang dilarang (Serangan (attack), Penyusupan (intruder) atau Penyalahgunaan (Misuse/abuse)) semakin banyak.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Kronologis perjalanan UU ITE:
Perjalanan UU ITE memerlukan waktu yang lama (5 tahun). Hal ini menyebabkan UU ITE menjadi sangat lengkap karena RUU ITE telah melalui banyak pembahasan dari banyak pihak. Sehingga konsultan yang disewa oleh DEPKOMINFO pun menilai bahwa UU ITE ini terlalu ambisius karena Indonesia adalah negara satu-satunya di dunia yang hanya mempunyai satu Cyber Law untuk mengatur begitu luasnya cakupan masalah dunia Cyber, sementara negara lain minimal memiliki tiga Cyber Law. Namun Bapak Cahyana sebagai pemateri malah bersyukur dengan keadaan ini.
Beliau menjelaskan lebih lanjut kondisi nyata di lapangan, betapa berbelitnya proses pengesahan suatu RUU di DPR. Sehingga bagi Indonesia lebih baik memiliki satu Cyber law saja sehingga DEPKOMINFO lebih leluasa menindak lanjuti UU ITE dengan membuat Peraturan Pemerintah yang masing-masing mengatur hal-hal yang lebih detail.
Latar belakang Indonesia Memerlukan UU ITE
Latar belakang Indonesia memerlukan UU ITE karena:
1. Hampir semua Bank di Indonesia sudah menggunakan ICT. Rata-rata harian nasional transaksi RTGS, kliring dan Kartu Pembayaran di Indonesia yang semakin cepat perkembangannya setiap tahun
2. Sektor pariwisata cenderung menuju e-tourism ( 25% booking hotel sudah dilakukan secara online dan prosentasenya cenderung naik tiap tahun)
3. Trafik internet Indonesia paling besar mengakses Situs Negatif, sementara jumlah pengguna internet anak-anak semakin meningkat.
4. Proses perijinan ekspor produk indonesia harus mengikuti prosedur di negera tujuan yang lebih mengutamakan proses elektronik. Sehingga produk dari Indonesia sering terlambat sampai di tangan konsumen negara tujuan daripada kompetitor.
5. Ancaman perbuatan yang dilarang (Serangan (attack), Penyusupan (intruder) atau Penyalahgunaan (Misuse/abuse)) semakin banyak.
Contoh kasus yang terjadi mengenai RUU ITE :
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi ramai dibicarakan, ketika bergolaknya kasus warga sipil yaitu Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional. Kemudian merambah pada kasus penghinaan wartawan infotainment oleh artis Luna Maya . Kasus penuduhan penyemaran nama baik dan penghinaan itu menyita banyak perhatian publik. Alih-alih, kini kasus tersebut berujung pada perseturuan di meja hijau.
Hingga kini, kontroversi masih kerap terjadi. Alasan utamanya adalah terkekangnya hak untuk berpendapat, sehingga masyarakat
seakan tidak memiliki ruang lagi untuk saling berkeluh kesah. Akhirnya, hal itu memicu lahirnya opini, barang siapa yang berani menulis pedas, maka harus siap dihadapkan pada pasal-pasal UU ITE itu.
Berikut ini Kontroversi dan Polemik UU ITE
Undang Undang Infomasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini pada dasarnya adalah salah satu konsekuensi dari skema konvergensi bidang telekomunikasi, computing dan entertainment (media), dimana pada awalnya masing-masing masih berbaur sendiri-sendiri. Undang-undang ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum dan implikasinya pada saat transaksi elektronik seperti transaksi keuangan via ponsel, dari mulai saat memasukkan password, melakukan transaksi keuangan, sampai bagaimana pesan itu sampai ke recipient yang dituju. Kepastian hukum ini diperlukan untuk para stakeholder terkait di dalamnya, mulai dari operator seluler, penyedia service transaksi keuangan tersebut, bank dimana sang nasabah menyimpan uangnya, sampai ke bank dimana recipient menjadi nasabahnya (yang mungkin saja berbeda dengan bank si sender).
Akhirnya dampak nyata UU ITE ini akan berhulu kepada bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Semua stakeholder atau yang berkepentingan dengan undang-undang ini diharapkan tidak salah mengartikan pasal-pasalnya, tetapi juga tidak menyalahgunakannya. Lembaga sekuat KPK saja dalam hal penyadapan, misalnya, harus berhati-hati menggunakannya, jika tidak mau menuai kritikan dari para praktisi hukum.
Mengutip pernyataan Menkominfo bahwa penerapan UU ITE harus memuat titik temu, harus seimbang, tidak terlalu ketat atau terlalu longgar. Di situlah mungkin seninya.
SOSIALISASI RUU ITE
Lain lagi halnya dengan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) ini. Menurutnya, UU ITE itu tidak jelas juntrungnya kemana dan masyarakat bisa tertekan serta takut dengan adanya UU ITE itu. “Menurut hemat saya, UU ITE itu tidak jelas. Ada kerancuan pada pasal-pasalnya,” papar Asep Purnama Bahtiar.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi ramai dibicarakan, ketika bergolaknya kasus warga sipil yaitu Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional. Kemudian merambah pada kasus penghinaan wartawan infotainment oleh artis Luna Maya . Kasus penuduhan penyemaran nama baik dan penghinaan itu menyita banyak perhatian publik. Alih-alih, kini kasus tersebut berujung pada perseturuan di meja hijau.
Hingga kini, kontroversi masih kerap terjadi. Alasan utamanya adalah terkekangnya hak untuk berpendapat, sehingga masyarakat
seakan tidak memiliki ruang lagi untuk saling berkeluh kesah. Akhirnya, hal itu memicu lahirnya opini, barang siapa yang berani menulis pedas, maka harus siap dihadapkan pada pasal-pasal UU ITE itu.
Berikut ini Kontroversi dan Polemik UU ITE
Undang Undang Infomasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini pada dasarnya adalah salah satu konsekuensi dari skema konvergensi bidang telekomunikasi, computing dan entertainment (media), dimana pada awalnya masing-masing masih berbaur sendiri-sendiri. Undang-undang ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum dan implikasinya pada saat transaksi elektronik seperti transaksi keuangan via ponsel, dari mulai saat memasukkan password, melakukan transaksi keuangan, sampai bagaimana pesan itu sampai ke recipient yang dituju. Kepastian hukum ini diperlukan untuk para stakeholder terkait di dalamnya, mulai dari operator seluler, penyedia service transaksi keuangan tersebut, bank dimana sang nasabah menyimpan uangnya, sampai ke bank dimana recipient menjadi nasabahnya (yang mungkin saja berbeda dengan bank si sender).
Akhirnya dampak nyata UU ITE ini akan berhulu kepada bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Semua stakeholder atau yang berkepentingan dengan undang-undang ini diharapkan tidak salah mengartikan pasal-pasalnya, tetapi juga tidak menyalahgunakannya. Lembaga sekuat KPK saja dalam hal penyadapan, misalnya, harus berhati-hati menggunakannya, jika tidak mau menuai kritikan dari para praktisi hukum.
Mengutip pernyataan Menkominfo bahwa penerapan UU ITE harus memuat titik temu, harus seimbang, tidak terlalu ketat atau terlalu longgar. Di situlah mungkin seninya.
SOSIALISASI RUU ITE
Lain lagi halnya dengan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) ini. Menurutnya, UU ITE itu tidak jelas juntrungnya kemana dan masyarakat bisa tertekan serta takut dengan adanya UU ITE itu. “Menurut hemat saya, UU ITE itu tidak jelas. Ada kerancuan pada pasal-pasalnya,” papar Asep Purnama Bahtiar.
Menurut pria asli Surabaya itu, yang menjadi perdebatan dan ditolak oleh sebagian masyarakat terdapat di Bab VII pasal 27 ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Pada pasal 27 ayat 3 itu, lanjutnya, dinilai berpotensi disalahgunakan atau disalah artikan untuk sengaja dijadikan jeratan hukum terhadap kebebasan seseorang untuk menulis blog, email, status Facebook, Twitter, ataupun semua bentuk dokumen elektronik apapun bentuknya menjadi terbatasi. “Harus ada peninjaun kembali atas pasal itu,” argumennya serius.
“Misalkan saja anda berkomentar negatif di dinding akun Facebook saya, menurut pasal tadi, anda dapat saya tuntut karena saya anggap melecehkan atau mencemarkan nama baik saya. Pasal itu yang perlu pembatasan dan perlu penjelasan ulang, supaya tidak terjadi kesalahpahaman,” paparnya menjelaskan
Ketika disinggung korban UU ITE baru-baru ini yaitu Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional dan artis Luna Maya yang terkena tuduhan penghinaan, Asep mengungkapkan, Prita dan Luna Maya merupakan korban ketidakjelasan UU ITE itu. ”Padahal kalau kita cermati dengan sangat bijak, kedua orang itu tidak termasuk dalam orang yang melanggar Pasal 27 Ayat 3 UU ITE,” ungkap ayah dari Radhita dan Dian Andriani itu beropini.
Kemudian, terkait akar permasalahan UU ITE, Asep mengatakan kurang jelasnya UU ITE itu karena kurangnya sosialisasi dari pemerintahan. “Permasalahan pokok UU ITE adalah keambiguan dari UU tersebut sehingga perlu penjelasan dan sosialisasi yang intens dari pemerintahan,” jawabnya diplomatis.
Menurutnya, DPR dan pemerintah selaku legislator harus segera mensosialisasikan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kepada publik dan pengguna UU. “Sosialisasi UU ITE ini menjadi penting agar tidak ditemukan lagi Prita Mulyasari dan Luna Maya lainnya,” sarannya mengakhiri