Maraknya skandal seks membuat banyak orang bertanya-tanya, apakah ketergantungan seks termasuk penyakit atau sekadar alasan untuk lolos dari masalah? Inilah penjelasannya.
American Psychiatric Association (APA) terus berdebat apakah kecanduan seks harus dicantumkan pada Diagnosa dan Manual Statistik Kelainan Mental.
Definisi yang diusulkan soal kecanduan seksual oleh APA adalah seseorang yang menghabiskan waktu lebih banyak untuk melakukan hubungan seksual ataupun mastrubasi sehingga mengganggu kegiatan sehari-hari.
Dr. Martin Kafka dari Harvard Medical School sekaligus anggota terkemuka dari kelompok peneliti gangguan seksual di APA, mendefinisikan keinginan hiperseksual sebagai seseorang berusia di atas 15 tahun yang mendapatkan lebih dari tujuh orgasme setiap minggu dalam kurun enam bulan. Karena definisi itu termasuk ambigu, sulit mengetahui berapa jumlah orang yang benar-benar menderita penyakit ini.
Tidak seperti pecandu alkohol di mana berhenti mengkonsumsi sama sekali merupakan solusi terbaik, seks merupakan naluri alami manusia. Karenanya, hampir tidak mungkin untuk berhenti berhubungan seksual sama sekali.
Berdasarkan keterangan Robert Weiss dari Sexual Recovery Institute, pasien yang terkena dampak serius atas kecanduan seks harus berada di tempat yang tidak memiliki akses ke media porno atau pekerja seksual.
Seksualitas seseorang pada dasarnya merupakan campuran rumit yang melibatkan sistem hormone otak, sistem lobus frontal dan sistem limbik yang berepngaruh pada suasana hati. Karena gen mengatur jalur saraf, sistem seksualitas mungkin bentuk warisan dari orangtua namun bisa juga dipengaruhi oleh lingkungan.
Sebelumnya, ilmuwan di Binghamton University, New York, Amerika Serikat menyebutkan gen DRD4 bertanggung jawab terhadap kuantitas seksual. Gen ini berhubungan pula dengan cara mengontrol jumlah dopamin yang muncul saat seseorang berhubungan seks.
Di sisi lain, hasrat seksual tidak hanya berhubungan dengan hormon tetapi juga kebutuhan sosial untuk bersama seseorang secara emosional.
American Psychiatric Association (APA) terus berdebat apakah kecanduan seks harus dicantumkan pada Diagnosa dan Manual Statistik Kelainan Mental.
Definisi yang diusulkan soal kecanduan seksual oleh APA adalah seseorang yang menghabiskan waktu lebih banyak untuk melakukan hubungan seksual ataupun mastrubasi sehingga mengganggu kegiatan sehari-hari.
Dr. Martin Kafka dari Harvard Medical School sekaligus anggota terkemuka dari kelompok peneliti gangguan seksual di APA, mendefinisikan keinginan hiperseksual sebagai seseorang berusia di atas 15 tahun yang mendapatkan lebih dari tujuh orgasme setiap minggu dalam kurun enam bulan. Karena definisi itu termasuk ambigu, sulit mengetahui berapa jumlah orang yang benar-benar menderita penyakit ini.
Tidak seperti pecandu alkohol di mana berhenti mengkonsumsi sama sekali merupakan solusi terbaik, seks merupakan naluri alami manusia. Karenanya, hampir tidak mungkin untuk berhenti berhubungan seksual sama sekali.
Berdasarkan keterangan Robert Weiss dari Sexual Recovery Institute, pasien yang terkena dampak serius atas kecanduan seks harus berada di tempat yang tidak memiliki akses ke media porno atau pekerja seksual.
Seksualitas seseorang pada dasarnya merupakan campuran rumit yang melibatkan sistem hormone otak, sistem lobus frontal dan sistem limbik yang berepngaruh pada suasana hati. Karena gen mengatur jalur saraf, sistem seksualitas mungkin bentuk warisan dari orangtua namun bisa juga dipengaruhi oleh lingkungan.
Sebelumnya, ilmuwan di Binghamton University, New York, Amerika Serikat menyebutkan gen DRD4 bertanggung jawab terhadap kuantitas seksual. Gen ini berhubungan pula dengan cara mengontrol jumlah dopamin yang muncul saat seseorang berhubungan seks.
Di sisi lain, hasrat seksual tidak hanya berhubungan dengan hormon tetapi juga kebutuhan sosial untuk bersama seseorang secara emosional.
Sumber : inilah.com
0 komentar:
Posting Komentar